Minggu, 09 Februari 2014

Rasa yang Kembali Hidup di Lengan Palsu

Dennis Aabo Sorensen kehilangan tangan kirinya saat sebuah roket kembang api yang sedang dia pegang meledak pada perayaan Tahun Baru, 10 tahun lalu. Sejak saat itu, tak pernah tebersit harapan untuk dapat kembali merasakan sesuatu dari potongan tangannya yang masih ada.

Namun, sejak tahun lalu, Sorensen bisa kembali merasakan bagaimana "menyentuh" lewat ujung tangan kirinya. "Perasaan" tersebut datang lewat teknologi tangan bionik yang memungkinkannya memahami dan mengidentifikasi obyek, sekalipun dia menutup mata.
Prototipe perangkat tersebut ditanamkan di lengan kiri Sorensen (36), mengaburkan batas antara badan dan mesin. Ilmuwan berharap, pada suatu hari nanti, temuan ini akan merevolusi banyak orang yang terpaksa menjalani amputasi dalam hidupnya.
Masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan terhadap komponen tersebut, tetapi Sorensen berkeyakinan bahwa para peneliti Eropa yang menggarap proyek ini sudah mendapatkan dasar yang tepat.
"Itu pengalaman yang hebat. Menakjubkan, bisa merasakan sesuatu yang tak mampu dirasakan selama bertahun-tahun," kata Sorensen, Rabu (5/2/2014). "Itu cukup dekat dengan perasaan yang sama seperti ketika tangan saya masih normal."
Penggunaan tangan bionik, termasuk rincian data harian dan mingguan, dilaporkan para peneliti dari Italia, Swiss, Jerman, Inggris, dan Denmark dalam jurnal Science Translational Medicine, Rabu.
Alastair Ritchie, ahli bioteknologi di University of Nottingham, mengatakan bahwa temuan tersebut merupakan satu lagi capaian maju dari logika. Namun, ujar dia yang tak terlibat penelitian ini, uji klinis lanjutan masih diperlukan. "Ini data awal yang sangat menarik, tetapi tetap bahwa itu merupakan satu studi kasus. Kita sekarang perlu melihat lebih banyak kasus," ujar Ritchie.
Meskipun ada kemajuan, kemampuan tangan buatan yang ada sekarang terpuruk ketika harus memberikan sensor umpan balik, sebuah elemen penting yang menentukan ketangkasan manusia. Sorensen menggunakan tangan palsu komersial yang dapat mendeteksi gerakan otot di tangannya yang buntung untuk membuka dan menutup telapak tangan.
Namun, dengan tangan palsunya itu, Sorensen tak bisa merasakan sentuhan. Karenanya, dia harus melihat terus-menerus ke telapak tangan saat memegang sesuatu, untuk mencegah hancurnya benda-benda yang dia pegang.
Temuan prototipe baru lengan palsu dengan nama LifeHand 2 tersebut menjadi harapan baru. Perasaan "hidup" pada lengan palsu ini menggabungkan teknologi intra-saraf dalam bidang robotika dan ilmu komputer.
Elektroda implan
Rahasia di balik prototipe tersebut adalah sebuah elektroda ultra-tipis selebar rambut manusia yang ditanamkan ke ulnaris dan saraf median lengan Sorensen melalui operasi. Sesudahnya, barulah tangan palsu dengan sensor buatan dipasangkan ke lengannya.
Sensor tersebut mengukur tegangan di tendon buatan pada setiap jari untuk menghitung gaya yang dibutuhkan untuk memegang beragam benda. Algoritma komputer mengubah informasi tersebut menjadi sinyal listrik yang dapat ditafsirkan saraf.
Hasilnya, sensasi real time, termasuk gradasi perasaan yang memungkinkan Sorensen mendeteksi bentuk benda dan konsistensi pengenalannya. Dalam serangkaian percobaan, dia bisa mengenali bentuk dasar benda seperti silinder botol dan beda kekakuan jeruk mandarin dengan bola bisbol.
Sensasi yang dirasakan Sorensen adalah kemajuan besar dari LifeHand 1 yang diluncurkan pada 2009. Pada prototipe tersebut, rasa yang didapat masih kurang halus. Pada LifeHand 1, elektroda tidak ditanamkan ke pengguna lengan palsu.
Pekerjaan lanjutan yang dibutuhkan untuk LifeHand 2 antara lain untuk membuat lengan palsu itu bisa membedakan benda secara lebih rinci, juga untuk membedakan panas dan dingin.
Silvestro Micera, insinyur di Ecole Polytechnique Federale de Lausanne dan Cuola Superiore Sant'Anna di Pisa, mengatakan, tantangan sekarang adalah memastikan sistem tersebut bisa ditanamkan pada banyak pengguna lengan palsu dalam beberapa bulan ke depan.
"Tujuan akhir kami adalah untuk menguji lengan palsu ini dalam praktik klinis untuk lima, enam, atau tujuh kali dalam setahun. Langkah berikutnya adalah untuk menunjukkan bahwa alat ini dapat bekerja dalam jangka panjang, tak hanya untuk satu pasien, tetapi banyak pasien," kata Micera.
Dengan asumsi uji klinis lanjutan berjalan baik, ujar Micera, tim peneliti kemungkinan akan mencari mitra komersial. Meski demikian, Micera mengatakan bahwa pencarian mitra komersial tersebut tak masuk daftar kegiatan mereka sekarang.
Satu hal yang pasti, biaya untuk alat ini mahal. Perangkat berteknologi tinggi jelas tidak akan murah. Namun, Micera mengatakan, operasi penanaman elektroda ke dalam tubuh pengguna akan relatif mudah dilakukan.
Sumber: Kompas.com


















Share:

0 komentar:

Posting Komentar