Sabtu, 20 November 2010

Keberlakuan Kaidah Hukum


Teori keberlakuan kaidah hukum :
1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibat. Berlakunya kaidah hukum secara filosofis apabila kaidah hukum tersebut dipandang sesuai dengan cita-cita masyarakat.

2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori paksaan berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum tersebut dipaksakan oleh penguasa.
3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Suatu kaidah hukum sebaiknya mengandung 3 aspek tersebut, yaitu jika kaidah hukum berlaku secara yuridis saja maka hanya merupakan hukum mati sedang apabila hanya berlaku dari aspek sosiologis saja dalam artian paksaan maka kaidah hukum tersebut tidak lebih dari sekedar alat pemaksa. Apabila kaidah hukum hanya memenuhi syarat filososfis saja, maka kaidah hukum tersebut tidak lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan.
Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut ditas. Jika tidak terpenuhinya salah satu unsure tidak akan berfungsi seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Contohnya kasus Bibit dan Candra yang mendapat tantangan begitu luas dari masyarakat
Perumusan kaidah hokum ada 2 macam, yaitu :
1. hipotetis/ bersyarat : yaitu yang menunjukkan adanya hubungan antara kondisi (sebab) dengan konsekwensi (akibat) tertentu.
2. kategori : yaitu suatu keadaan yang menurut hukum tidak menunjukkan adanya hubungan antara kondisi(sebab) dengan konsekwensi(akibat).

Essensial bersifat mendasar Hukum essensial adalah hukum yang bersifat mematoki, jadi bukanya memaksa karena hukum itu sendiri tidak dapat memaksa dan ia dapat dilanggar. Yang menyebabkan terjadinya paksaan adalah diri sendiri maupun orang lain (negara) hukum yang baik yaitu hukum yang menggambarkan keinginan-keinginan masyarakatnya.
Menurut ZEVEN BARGEN: Berlakunya kaidah hukum secara yuridis apabila kaidah hukum itu terbentuk sesuai dengan tata cara atau prosedur yang berlaku
Menurut LOGEMANN : Berpendapat suatu kaidah hukum itu berlaku secara yuridis apabila didalam kaidah hukum tersebut terdapat hubungan sebab-akibat atau kondisi dan konsekwensi.
Menurut GUSTAF RADERUCH : Berpendapat di dalam mencari dasar dari keberlakuan hendaklah dilihat dari kewenangan-kewenangan pembentuk undang-undang.
A. Subyek hukum
Secara bahasa, subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).
Yang membedakan keduanya adalah bahwa manusia Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum yaitu;n Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kedua, kewenangan hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Berdasarkan teori fiksi (Pasal 2 KUHPerdata), bahwa setiap bayi yang belum dilahirkan telah memiliki hak. Artinya bahwa seluruh manusia pada prinsipnya telah menjadi subyek hukum, namun yang kemudian dikecualikan oleh UU adalah yang dianggap tidak cakap / tidak mampu. Sehingga yang membedakan antara subyek hukum yang cakap dan subyek hukum yang tdk cakap adalah berkaitan dengan pemenuhan tanggung jawab. Bahwa subyek hukum yang tidak cakap tdk dpt dikenakan tanggung jawab secara langsung namun melalui pengampu atau curatele nya.
Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan (Pasal 2 KUH Perdata) disebut juga Teori Fiksi, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang –orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah ; orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata). Namun ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata telah dihapus sebagian, yang berkaitan dengan wanita sebagai subyek hukum, oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung. Sehingga wanita dewasa pun sekarang dianggap sebagai subyek hukum juga.
Sedangkan pada badan hukum, tidak serta merta memperoleh status sebagai subyek hukum, namun melalui proses pendaftaran hingga pengesahan.
Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Salim HS, SH, Ms; bahwa teori yang paling berpengaruh dalam hukum positif berkaitan keberadaan Badan Hukum sebagai Subyek Hukum adalah Teori Konsensi dimana beliau bahwa berpendapat badan hukum dalam negara tidak dapat memiliki kepribadian hukum (hak dan kewajiban dan harta kekayaan) kecuali di perkenankan oleh hukum dalam hal ini berarti negara sendiri.
Kalimat "diperkenankan" diartikan sebagai pengesahan oleh Negara melalui Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) dan Pengadilan Negeri.
Pengertian tentang hubungan yang teratur menyimpulkan berbagai pihak yang berhubungan dalam sistem itu. Masing-masing pihak tersebut disebut subyek hukum. Subyek hukum adalah setiap pihak sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dilihat dari sifatnya subyek hukum terdiri dari :
1. Mandiri, karena berkemampuan penuh untuk bersikap tindak.
2. Terlindungi, karena dianggap tidak mampu bersikap tindak
3. Perantara, yang meskipun berkemampuan tetapi sikap tindak dibatasi sebatas kepentingan pihak yang diantarai.
Dilihat dari hakekatnya, subyek hukum dibedakan
  1. pribadi kodrati
  2. pribadi hukum
  3. tokoh/ pejabat, dalam hal ini dikaitkan dengan status.
Manusia sebagai Subyek Hukum, berakhir sebagai Subyek Hukum apabila:
1. Telah meninggal dunia
2. Telah dinyatakan oleh UU bahwa tidak mampu bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata
Subyek Hukum yang berbentuk Badan Hukum, berakhir apabila:
1. Membubarkan dirinya; atau
2. Telah dinyatakan berakhir dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht)
Share:

1 komentar: