Kamis, 11 November 2010

Kekeliruan dalam Berfikir dan Kesalahan Logis


Sejauh ini, kita telah mempelajari cara-cara berfikir benar, melalui metode deduksi. Kini dapat kita kumpulkankan kekeliruan-kekeliruan berfikir yang sedang terjadi.
Ada beberapa hal yang mengakibatkan kesalahan berfikir dan itu sering tidak disadari orang, baik orang yang berfikir sendiri, maupun orang yang mengikuti buah pikiran itu. Ini pun dalam logika dirumuskan dan diberi nama. Sebelum kamu memajukan hal-hal yang betul-betul merupakan kesalahan berfikir, kami sebut dulu dua hal yang sebetulnya bukan kesalahan, tetapi sering membingungkan dan disalahgunakan, untuk membawa orang lain ke konklusi yang salah.

Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut homonim, yaitu kata yang memiliki banyak arti yang dalam logika biasanya disebut kesalahan semantik atau bahasa. Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai cara, misalnya menunjukkan langsung adanya kesesatan semantik dengan mengemukakan konotasi sejati. Memilih kata-kata yang hanya arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian yang tepat, apakah universal atau partikular. Dapat juga dengan konotasi subyektif yang berlaku khusus atau obyektif yang bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logika induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi, pengamatan yang tidak lengkap atau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau penggolongan karena penggolongannya tidak lengkap atau tumpang tindih maupun masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan yang bertentangan dengan fakta. kemudian yang berkaitan dengan sebab adalah antiseden yang tidak cukup, dan analisis yang perbedaannya tidak cukup meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan itu menjadikannya suatu kecenderungan homogen, masih pula terdapat kebersamaan yang sifatnya kebetulan. Kesalahan juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa, atau analogi yang keliru. Kesalahan juga terjadi karena suatu argumen ternyata memuat premis-premis yang tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari. Sebuah argumen yang premis-premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulannya merupakan argumen yang “salah” sekalipun semua premisnya itu mungkin benar.
Mundiri menyatakan dalam bukunya bahwa terdapat beberapa kekeliruan berpikir antara lain:
A. KEKELIRUAN FORMAL
  1. Menggunakan empat term dalam silogisme (Fallacy of Four Terms)
Ini terjadi karena term penengah diartikan ganda, sedangkan dalam patokan diharuskan hanya terdiri tiga term, seperti:
Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan hukuman, Menjual barang dibawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual harga dibawah tetangganya diancam dengan hukuman.
  1. Kedua term penengah mencakup (Fallacy of Undistributed Middle)
Kekeliruan berfikir karena tidak satupun dari kedua term penengan mencakup, seperti:
Orang yang terlalu banyak belajar kurus. Dia kurus sekali, karena itu tentulah dia banyak belajar
  1. Proses tidak benar (Fallacy of Illicit Process)
    Kekeliruan berfikir karena term premis tidak mencakup (undistributed) tetapi dalam konklusi mencakup, seperti:
Kura-kura adalah binatang melata. Ular bukan kura-kura, karena itu ia bukan binatang melata.
  1. Menyimpulkan dari dua premis yang negatif (Fallacy of Two Negative Premises)
Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negatif. Apabila terjadi demikian sebenarnya tidak bisa ditarik konklusi.
Tidak satupun barang baik itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak murah, jadi kesemua barang di toko itu adalah baik.
  1. Mengakui akibat (Fallacy of Affirming the Consequent)
Kekeliruan berfikir dalam siligisme hipotetika karena membenarkan akibat kemudian membenarkan pula sebabnya, seperti:
Bila pecah perang harga barang-barang naik. Sekarang harga barang naik, jadi perang telah pecah.
  1. Menolak sebab (Fallacy of Denying Antecedent)
Kekeliruan berfikir dalam silogisme hipotetika karena mengingkari sebab kemudian disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana, seperti:
Bila permintaan bertambah harga naik. Nah, sekarang permintaan tidak bertambah, jadi harga tidak naik.
  1. Bentuk disyungtif (Fallacy of Disjunction)
Kekeliruan berfikir tejadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternatif pertama, kemudian membenarkan alternatif lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternatif pertama, bisa juga tidak terlaksananya alternatif yang lain, seperti:
Dia lari ke Jakarta atau ke Bandung. Ternyata tidak di Bandung, berarti dia ada di Jakarta. (Dia bisa tidak di Bandung maupun di Jakarta)
  1. Tidak konsisten (Fallacy of Inconsistency)
Kekeliruan berpikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui sebelumnya, seperti:
Anggaran Dasar organisasi kita sudah sempurna; kita perlu melengkapi beberapa fasal agar komplit.
B. KEKELIRUAN INFORMAL
1. Fallacy of Hasty Generalization (Kehelinian Karena Mem­buat Generalisasi yang Terburu-buru)
Kekeliruan berpikir karena tergesa-gesa membuat generalisasi, yaitu mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya, seperti:
Dia orang Islam mengapa membunuh. Kalau begitu orang Islam memang jahat.
2. Fallacy of Forced Hypothesis (Kel.eliruan Karena Memahsa­han Praduga)
Kekeliruan berpikir karena menetapkan kebenaran suatu du­gaan, seperti:
Seorang pegawai datang ke kantor dengan luka goresan di pipinya. Seseorang menyatakan bahwa isterinyalah yang melukainya dalam suatu percekcokan karena diketahui­nya selama ini orang itu kurang harmonis hubungannya dengan isterinya, padahal sebenarya karena goresan besi pagar.
3. Fallacy of Begging the Question. (Keheliruan Karena Mengun­dang Permasalahan)
Kekeliruan berpikir karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan dahulu kebenarannya, seperti:
Allah itu mesti ada karena ada bumi.
(Di sini orang akan membuktikan bahwa Allah itu ada dengan dasar adanya bumi, tetapi tidak dibuktikan bahwa bumi adalah ciptaan Allah).
4. Fallacy of Circular Argument (Kekeliruan Karena menggunakan argumen yang Berputar)
Kekeliruan berpikir karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut dijadikan sebagai premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada argumen berikutnya, seperti
Sarjana-sarjana lulusan perguruan tinggi Omega kurang bermutu karena organisasinya kurang baik. Mengapa orga­nisasi perguruan tinggi itu kurang baik? Dijawab karena lulusan perguruan tinggi itu kurang bermutu.
5. Fallacy of Argumentative Leap (Kekeliruan Karena Berganti Dasar)
Kekeliruan berpikir karena mengambil kesimpulan yang tidak diruiunkan dari premisnya. Jadi mengambil kesimpulan melompat
dari dasar semula, seperti:
la kelak menjadi mahaguru yang cerdas, sebab orang tuanya kaya.
6. Fallacy of Appealing to Authority (Keheliruan Karena Mendasarkan pada Otoritas)
Kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untulpermasalahan di luar otoritas ahli tersebut, seperti:
Pisau cukur ini sangat baik, sebab Rudi Hartono selalu menggunakannya. (Rudi Hartono adalah seorang olah ragawan, ia tidak mempunyai otoritas untuk menilai bagus­nya logam yang dipakai untuk membuat pisau cukur).
7. Fallacy of Appealing to Force (Kekeliruan Karena Menda­sarkan diri pada Kekuasaan)
Kekeliruan berpikir karena berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak pendapat/argumen seseorang dengan menyatakan:
Kau masih juga membantah pendapatku. Kau baru satu tahun duduk di bangku perguruan tinggi, aku sudah lima tahun.
8. Fallacy of Abusing (Kekeliruan Karena Menyerang Pribadi)
Kekeliruan berpikir karena menolak argumen yang dikemuka­kan seseorang dengan menyerang pribadinya, seperti:
Dia adalah seorang yang brutal, jangan dengarkan penda­patnya.
9. Fallacy of Ignorance (Kekeliruan Karena Kurang Tahu)
Kekeliruan berpikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan argumentasinya, dengan sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar, seperti:
Sudah beberapa kali kau kemukakan alasanmu tetapi tidak terbukti gagasanku salah. Inilah buktinya bahwa pendapat­ku benar.
10. Fallacy of Complex Question (Kekeliruan Karena Pertanyaan yang Ruwet)
Kekeliruan berpikir karena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak, seperti:
Jam berapa kau pulang semalam?; (Yang ditanya sebenarnya tidak pergi. Penanya hendak memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya semalam pergi).
11. Fallacy of Oversimplification (Kekeliruan Karena Alasan Terlalu Sederhana)
Kekeliruan berpikir karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak cukup bukti, seperti:
Kendaraan buatan Honda adalah terbaik, karena paling banyak peminatnya.
12. Fallacy of Accident (Kekeliruan Karena Menetapkan Sifat)
Kekeliruan berpikir karena menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat itu tetap ada selamanya, seperti:
Daging yang kita makan hari ini adalah dibeli kemarin. Daging yang dibeli kemarin adalah daging mentah, jadi hari ini kita makan daging mentah.
13. Fallacy of Irrelevant Argument (Kekeliruan Karena Argu­men yang tidak relevan)
Kekeliruan berpikir karena mengajukan argumen yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang menjadi pokok pembi­caraan, seperti:
Pisau silet itu berbahaya daripada peluru, karena tangan kita seringkali teriris oleh pisau silet dan tidak pemah oleh peluru.
14. Fallacy of False Analogy (Kekeliruan Karena Salah Meng­ambil Analogi)
Kekeliruan berpikir karena menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara men­dasar, seperti:
Saya heran mengapa banyak orang takut menggunakan kapal terbang dalam bepezgian karena banyaknya orang yang tewas karena kecelakaan kapal terbang. Kalau begitu sebaiknya orang jangan tidur di tempat tidur, karena ham­pir semua orang menemui ajalnya di tempat tidur.
15. Fallacy of Appealing to Fity (kekeliruan karena mengundang belas kasihan)
Kekeliruan berpikir karena menggunakan uraian yang sengaja menarik belas kasihan untuk mendapatkan konklusi yang diharap­kan. Uraian itu sendiri tidak salah tetapi menggunakan uraian-uraian yang menarik belas kasihan agar kesimpulan menjadi lain, padahal rnasalahnya berhubungan dengan fakta, bukan dengan perasaan inilah letak kekeliruannya. Kekeliruan pikir ini sering digunakan dalam peradilan oleh pembela atau terdakwa, agar hakirn membe­rikan keputusan yang sebaik-baiknya, seperti pernbelaan Clarence darrow, seorang penasihat hukum terhadap Thomas I Kidd yang dituduh bersekongkol dalam beberapa perbuatan kriminal dengan mengatakan sebagai berikut:
Saya sampaikan pada anda (para yuri), bukan untuk kepentingan Thomas Kidd tetapi menyangkut permasalahan yang panjang, ke belakang ke masa yang sudah lampau maupun ke depan ke masa yang akan datang, yang menyangkut seluruh manusia di bumi. Saya katakan pada anda bukan untuk Kidd, tetapi untuk mereka yang bangun pagi se­belum dunia menjadi terang dan pulang pada malam hari setelah langit diterangi bintang-bintang, mengorbankan kehidupan dan kesenangannya, bekerja berat demi terse­lenggaranya kemakmuran dan kebesaran, saya sampaikan pada anda demi anak-anak yang sekarang hidup maupun yang akan lahir.
C. KEKELIRUAN KARENA PENGGUNAAN BAHASA
1. Fallacy of Composition (Kekeliruan Karena Komposisi)
Kekeliruan berpikir karena menetapkan sifat yang ada pada bagian untuk menyifati keseluruhannya, seperti:
Setiap kapal perang telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut negara itu sudah siap tempur.
2. Fallacy of Division (Kekeliruan dalam Pembagian)
Kekeliruan berpikir karena menetapkan sifat yang ada pada keseluruhannya, maka demikian juga setiap bagiannya, seperti:
Kompleks ini dibangun di atas tanah yang luas, tentulah kamar-kamar tidurnya juga luas.
3. Fallacy of Accent (Kekeliruan Karena Tekanan)
Kekeliruan berpikir karena kekeliruan memberikan tekanan dalam pengucapan, seperti:
Ibu, ayah pergi (yang hendak dimaksud adalah ibu dan ayah pembicara sedang pergi. Seharusnya tidak ada pene­kanan pada ibu, sebab maknanya menjadi pemberitahuan pada ibu bahwa ayah baru saja pergi).
4. Fallacy of Amphiboly (Keheliruan Karena Amfiboli)
Kekeliruan berpikir karena menggunakan susunan kalimat yang dapat itafsirkan berbeda-beda, seperti dalam contoh klasik berikut:
Croesus raja Lydia tengah memikirkan untuk berperang melawan kerajaan Persia. Sebagai raja yang berhati-hati ia tidak akan melaksanakan peperangan manakala tidak ada jaminan untuk menang. Oleh karena itu meminta pertimbangan pendeta Oracle Delphi, untuk mendapatkan sabda dewa. Ia mendapat jawaban berikut Bila Croesus berang­kat melawan Cyrus ia akan menghancurkan sebuah kera­jaan besar. Puas dengan ramalan ini ia menyimpulkan bahwa ia akan menang melawan Cyrus, raja Persia. Ia berangkat ke medan laga dan dalam tempo singkat pasukannya dapat ditumpas oleh Cyrus, dan ia sendiri ditawan. Waktu menunggu dihukum bunuh ia menulis surat, mencela sangat keras para pendeta di Oracle Delphi Para pendeta menjawab bahwa bagaimanapun juga mereka benar, karena Croesus dalam peperangan telah menghan curkan sebuah kerajaan besar, kerajaannya sendiri.
5. Fallacy of Equivocation (Kekeliruan Karena Menggunakan Kata dalam Beberapa Arti)
Kekeliruan berpikir karena menggunakan kata yang sama dcengan arti lebih dari satu, seperti:
Gajah adalah binatang, jadi gajah kecil adalah binatang yang kecil. (Kecil dalam 'gajah kecil' berbeda pengertiannya de­ngan kecil dalam binatang kecil').

Share:

0 komentar:

Posting Komentar