Jumat, 12 November 2010

Sejarah Pembukuan Fiqh dan Pembukuan Sumbernya


1. Arti Tadwin
Tadwin ialah membukukan atau mencatat segala rupa berita dan kejadian didalam suatu buku, tidak cukup dengan lafaz saja. Orang-orang Arab Hijaz adalah ummiyun, yaitu tidak pandai membaca dan menulis apalagi mengenal kaidah-kaidah memberi titik, memberi garis, dan lain sebagainya. Lantaran inilah kebanyakan ulama Arab berpegangan kepada lafadz dan kekuatan ingatan sehingga tidak membutuhkan tulisan. Dan karena itu pula Nabi SAW pada mulanya menolak untuk membaca apa yang dikemukakan Jibril.

Golongan syi’ah berpendapat bahwa Nabi SAW dapat membaca dan menulis. Allah SWT telah mensifatkan Nabi-Nya dg ummiyah, yaitu tidak dapat membaca dan menulis, seperti yang ditegaskan di dalam surat Al-Ankabut.




Artinya: Dan enkau (Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab sebelum (Al-quran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkarinya. (QS. Al-Ankabut: 48).
Rasulullah telah berusaha dengan segala tenaga untuk mengembangkan pendidikan dan pelajaran diantara umatnya. Beliau mewajibkan atas tiap-tiap seorang tawanan badar yang pandai membaca dan menulis untuk mengajarkan sepuluh orang Islam.
1. Pentadwinan Al-qur’an dan penulis-penulis wahyu
Ketika Nabi SAW telah berada di Madinah, beliau memilih diantara para sahabat yang dipercaya untuk ditugaskan menulis wahyu. Diantaranya Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Usman Bin Affan, Abdullah Abdulu Mas’ud, Anas bin Malik, Upay bin Abdulu Arqam, Abdullah Abdulu Rawahah dan lain-lain. Sedangkan diantara banyak penulis wahyu tersebut, yang banyak menuliskan wahyu adalah Zaid bin Tsabit, dan oleh sebab itulah Al-Bukhari menamakan beliau dengan sekretaris nabi.
Apabila suatu ayat turun, maka Nabi SAW memanggil seorang penulis dan menyuruh menuliskan ayat yang baru turun itu sambil menerangkan tempat-tempat ayat itu diletakkan dalam suratnya masing-masing. Mereka kemudian menulisnya di atas kepingan kulit dan batu-batu tipis. Akan tetapi penulis-penulis wahyu tidak semuanya selalu berada disamping nabi SAW. Lantaran itu Al-Qur’an tidak terkumpul seluruhnya pada masing-masing mereka. Namun demikian, himpunan yang ada pada mereka menyempurnakan satu sama lainnya, sehingga tidak dapat diedarkan dalam masyarakat ramai. Yang lengkap dari Al-qur’an hanyalah yang di hafadzkan oleh sejumlah besar tokoh-tokoh sahabat.
2. Mengumpulkan Al-qur’an dan Menamakannya Mushaf
Pada tahun 12 Hijriah yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, terjadi pertempuran Al-yamamah, yang mengakibatkan syahidnya sejumlah para sahabat penghafadh Al-qur’an. Maka Umar sebagai seorang penasehat Kepala Negara, menganjurkan supaya Al-qur’an dihimpun dalam sebuah buku (dibukukan). Pada mulanya Abu Bakar menolak anjuran Umar dikarenakan perbuatan itu tidak dilakukan Rasul. Akan tetapi atas desakan Umar, akhirnya Abu Bakar menerima anjuran itu dan menyuruh Zain bin Tsabith mengumpulkan kepingan-kepinga yang terdapat pada para sahabat. Beliau dibantu Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Usman bin Affan. Ubay bertindak sebagai pendikte dan Zaid bertindak sebagai penulis. Sedang Umar berdiri di pintu masjid untuk mengumpulkan Al-qur’an dari sahabat-sahabat yang menghafadznya.
Maka dengan usaha itu, terkumpullah kepingan-kepingan yang berserak-serak dan diperbaharui serta ditertibkan menurut petunjuk rasul dahulu, yaitu menempatkan ayat pada tempatnya masing-masing dalam surat-suratnya kemudian mengikatnya dalam sebuah ikatan.
Abu Bakar mengumpulkan para sahabat dan meminta kepada mereka untuk memberikan nama kepada kepingan-kepingan yang telah terkumpul itu. Ada diantara mereka yang menamannya sift. Kemudian Abu Bakar mengemukakan pendapatnya untuk menamakanya mushaf. Para sahabat menyetujui nama itu.
3. Pentadwinan As-sunnah
Ide mendewankan hadits itu telah menjadi fikiran Umar bin Khatahab di waktu beliau memegang kendali Khilafah. Akan tetapi beliau tidak melaksanakan ide itu, lalu terpendamlah hingga masa Umar bin Abdil Aziz pada tahun 101 Hijriah. Dimasa beliau ini telah banyak tersebar hadits-hadits maudlu, sedang para sahabat dan para tabi’in telah tersebar ke berbagai kota Islam. Maka pada akhir masa pemerintahanya kira-kira 1 tahun sebelum beliau wafat, timbullah ide mengumpulkan Al-hadits dalam sebuah kitab dan membagi naskah-naskah kitab itu keberbagai kota Islam,.
Diantara sebab para Khula Rasyidin dahulu tidak mendewankan Hadits karena:
a. Dikhawatirkan Masyarakat akan terlalu sibuk dengan membaca kitab hadits dan fatwa-fatwa sahabat, hingga mengabaikan Al-qur’an
b. Dikhawatirkan akan didewankan yang sebenarnya bukan hadits dan ditinggalkan hadits yang sebnarnya
c. Para sahabat enggan mengadakan sesuatu yang ada di masa Rasul
d. Disebabkan para sahabat besar sibuk menghadapi urusan politik, negara, dan peperangan.
4. Maksud Membukukan Ilmu Hadits
Kitab-kitab hadits pada mulanya ditulis secara berbab sebagai kitab-kitab fiqh yang dimasukkan pula kedalam pendapat-pendapat sahabat dan fatwa tabi’in. Kitab-kitab hadits ini dinamai mushannaf. Diantara mushannaf yang terkenal di abad kedua Hijriah adalah Muwaththa’ Malik (Muwaththa’ ini kemudian diriwayatkan oleh sebagian besar dari murid-murid malik). Riwayat yang sampai hanyalah riwayat Muhammad bin Hasan dan Riwayat Yahya Al-Bitti yang wafat pada tahun 230 H.
Kemudian pada abad ketiga, timbullah usaha mengumpulkan hadits serta memisahkan yang shahih dari dla’if dan menerangkan keadaan para perawi. Maka dalam abad inilah lahirnya kitab-kitab hadits yang enam dan terkenal dengan kitab-kitab pokok yaitu: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abdulu Majah, Sunan Abu Daud, Sunan At-Tarmudzi, dan Sunan An-Nasa’i. Inilah kitab-kitab hadits dalam kalangan ahlus sunnah.
Dalam Kalangan syi’ah terdapat pula beberapa kitab hadits yang dinamakan Al-Akbar. Yang penting dari kitab-kitab Al-Akhbar itu adalah:
a. Al-Kafi, susunan Muhammad bin Ya’qub (wafat 328 H)
b. Man la Yadhuruhul Faqih, karangan Abdulu Babawaih (wafat 381 H)
c. Al-Istibahar, karangan Abdulu Babawaih
d. Tahdzibul Ahkam, Karangan Ath-Thusi (wafat 411 H). [3]
5. Pentadwinan Fiqh dan Ushulnya
Fiqh pada mulanya merupakan fatwa-fatwa dan pendapat-pedapat sahabat, hukum peristiwa-peristiwa yang tumbuh di masa-masa mereka. Semua ini tidak didewankan dimasa sahabat sendiri. Para sahabat tidak bermaksud supaya pendapat mereka dianut terus oleh orang-orang yang datang sesudah mereka. Mereka terus menerus menyelami nash-nash Al-qur’an dan memahami lafadh-lafadhnya sesuai dengan pekembangan masa dan masyarakat.
Fiqh pada masa itu belum mempunyai guru-guru tertentu untuk diajarkan di masjid-masjid dan majelis-majelis. Masjid pada masa itu merupakan perguruan tinggi dalam mata pelajran Al-qur’an, Al-hadits, fiqh dan lughah. Para pelajar menghafal apa yang dikuliahkan oleh gurunya. Hanya sebagian saja dari mereka mencatat kuliah gurunya. Inilah sebagai titik tolak pembukuan fiqh.
Ketika usaha membukukan hukum-hukum Islam mulai pesat dilaksanakan, bangunlah para pengumpul fatwa yang diantaranya:
a. Ulama Madinah mengumpulkan fatwa-fatwa Abdullah ibn Umar, fatwa-fatwa ‘Aisyah dan fatwa-fatwa tabi’in Madinah. Yang disusun dalam tempo 40 tahun dan dinamakan Kitab Muwaththa’.
b. Fuqaha-fuqaha iraq mengumpulkan fatwa-fatwa Ibnu Mas’ud, fatwa-fatwa Ali, putusan-putusan hukum yang ditetapkan oleh Hakim Syraih dan lain-lainnya.
c. Ibrahim an Nakha’i dan Hammad mengumpulakan fatwa guru-gurunya, pendapat-pendapat mereka dan pokok-pokok prinsip mereka dalam sebuah kitab.
Pada masa Amawiyah, fiqh didewankan bercampur dengan Sunnah, pendapat sahabat dan tabi’in. Karena itulah materi-materi fiqh ketika itu bercampur dengan hadits dan atsar. Akan tetapi diperoleh juga kitab-kitab fiqh yang tidak mencampurbaurkan isinya antara hadits dengan atsar, yaitu kitab-kitab ulama hanafiah.
6. Pembukuan Ilmu Usnul Fiqh
Menurut penelitian para ahli, Ar-Risalah ini ditulis Asy-Syafi’i ketika beliau berada di Iraq. Kemudian diulangi lagi penyusunannya sesudah beliau bermukim di Mesir. Dan Asy-Syafi’i jugamempunyai kitab Jami’ul Ilmi dan kitab Istihsan. Fuqaha dan ulama setelah Asy-syafi’i berusaha melanjutkan dan menyempurnakan usahanya tersebut. Ahmad ibn Hanbal menulis sebuah kitab dalam ilmu ushul dan begitu juga dengan ulama Hanafiah dan malikiah. Akan tetapi ulama-ulama hanafiah mempunyai manhaj tersendiri yang berbeda dari manhaj orang lain. Sehingga timbullah beberapa mukhtashar bagi kitab-kitab ini. Oleh karena itu, bangunlah Muhammad Ar-razi untuk mengumpulkan mukhtashar tersebut dalam sebuah kitab yang dinamakan Al-Mahsul.
Share:

2 komentar: