1.
Pengertian
Mengenai
zuhud disebutkan dalam firman Allah SWT dan hadits, yang berbunyi:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16)
وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)
“Tetapi
kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat
adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)
عَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ
أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى
أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».
Dari Sahl bin Sa’ad As
Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas berkata, “Wahai Rasulullah,
tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan
mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Zuhudlah pada dunia,
Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun
akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi
mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali
Rahimahullah berkata: "Maksud zuhud adalah mengosongkan hati dari
kesibukan diri dengan dunia sehingga orang tsb dpt berkonsentrasi untuk mencari
ridha Allah, mengenalNya, dekat kepadaNya, merasa
Zuhud merupakan sifat mulia orang
beriman karena tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya baik harta,
wanita, maupun tahta. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Tapi, orang
beriman beramal shalih di dunia, memakmurkan bumi, dan berbuat untuk
kemaslahatan manusia, kemudian mereka meraih hasilnya di dunia berupa fasilitas
dan kenikmatan yang halal di dunia. Pada saat yang sama, hati mereka tidak
tertipu pada dunia. Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan
akhiratlah yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, orang-orang beriman
beramal di dunia dengan segala kesungguhan bukan hanya untuk mendapatkan
kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya di
akhirat.
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi
Rahimahullah berkata: "Zuhud adalah istilah berpalingnya keinginan dari
sesuatu menuju yang lain yang lebih baik darinya. Dan syaratnya adalah hal yang
ditinggalkan itu disukainya pada sebagian sisinya. Maka barangsiapa
meninggalkan sesuatu yang tidak disukai dan tidak dicarinya maka dia tidak
dinamakan zaahid (orang yang zuhud)."
Tujuan meninggalkan dunia bagi
orang yang zuhud adalah untuk meraih akhirat, bukan semata-mata untuk rileks
dan menganggur. Abu Sulaiman Rahimahullah berkata: "Orang yang zuhud
bukanlah orang yang meninggalkan kesibukan2 dunia dan beristirahat darinya.
Tetapi orang yang zuhud adalah orang yang meninggalkan dunia dan berpayah-payah
di dunia untuk akhirat."
2.
Tanda
dan Bentuk Zuhud
Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3
tanda-tanda zuhud, yaitu:
a. Tidak
bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang.
b. Sama
saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta
maupun kedudukan.
c. Hendaknya
senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan.
Karena hati tidak dapat terbebas dari kecintaan. Apakah cinta Allah atau cinta
dunia. Dan keduanya tidak dapat bersatu.
Jadi, tanda zuhud adalah tidak
adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian
dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah.
Yahya bin Yazid berkata, ”Tanda zuhud
ada dermawan dengan apa yang ada.” Imam Ahmad bin Hambal dan Sufyan r.a.
berkata, ”Tanda zuhud adalah pendeknya angan-angan.”
Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada
tiga bentuk.
a. Meninggalkan
sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awwam.
b. Meninggalkan
berlebihan terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang khusus.
c. meninggalkan
segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat Allah, dan ini adalah
zuhudnya orang-orang arif.”
Hal yang berkaitan dengan zuhud ada
6 perkara. Seseorang tidak berhak menyandang sebutan zuhud sehingga bersikap
zuhud terhadap 6 perkara tersebut, yaitu; harta, rupa (wajah), kedudukan
(kekuasaan), manusia, nafsu, dan segala sesuatu selain Allah. Namun demikian,
ini bukan berarti menolak kepemilikan terhadapnya. Nabi Daud a.s. dan Nabi
Sulaiman a.s. adalah orang yang paling zuhud di zamannya, tetapi memiliki
banyak harta, wanita, dan kedudukan.
3.
Tingkatan Zuhud
Zuhud orang-orang beriman memiliki
tingkatan. Zuhud terhadap yang haram, zuhud terhadap yang makruh, zuhud
terhadap yang syubhat, dan zuhud terhadap segala urusan dunia yang tidak ada
manfaatnya untuk kebaikan hidup di akhirat.
Zuhud terhadap yang haram hukumnya
wajib. Orang-orang
beriman harus zuhud atau meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah.
Bahkan sifat-sifat orang beriman, bukan hanya meninggalkan yang diharamkan,
tetapi meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Kualitas keimanan dan
keislaman seseorang sangat terkait dengan kemampuannya dalam meninggalkan
segala sesuatu yang tidak berguna. Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang
yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.”
(Al-Mu’minun: 3). Rasulullah saw. bersabda, ”Diantara tanda kebaikan
Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR
At-Tirmidzi)
Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang
paling zuhud, tetapi juga punya beristri lebih dari satu. Sembilan dari sepuluh
sahabat yang dijamin masuk surga tanpa hisab, kecuali Ali bin Abi Thalib,
semuanya kaya raya, tetapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang paling
zuhud. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin
Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas, dan Said bin Abdullah. Sedangkan Ali bin Abi
Thalib adalah sahabat yang paling zuhud. Meskipun demikian ketika meninggal
dunia, beliau meninggalkan 21 wanita: 4 orang istri merdeka dan 17 budak
wanita.
Setiap orang beriman harus
senantiasa meningkatkan kualitas zuhudnya. Itulah yang akan memberinya
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta meraih ridha Allah swt.
Orang-orang yang berkerja keras mencari nafkah dengan cara yang halal. Ketika
berhasil meraih banyak harta kemudian menunaikan kewajiban atas harta tersebut,
seperti zakat, infak, dan lainnya. Dengan berlaku seperti itu, dia termasuk
orang zuhud. Orang-orang yang beriman yang memiliki istri lebih dari satu untuk
membersihkan dirinya (iffah) adalah termasuk orang yang zuhud.
4.
Keutamaan Zuhud terhadap Dunia
Zuhud merupakan sifat mulia orang
beriman karena tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya baik harta,
wanita, maupun tahta. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Tapi, orang
beriman beramal shalih di dunia, memakmurkan bumi, dan berbuat untuk
kemaslahatan manusia, kemudian mereka meraih hasilnya di dunia berupa fasilitas
dan kenikmatan yang halal di dunia. Pada saat yang sama, hati mereka tidak
tertipu pada dunia. Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan
akhiratlah yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, orang-orang beriman beramal
di dunia dengan segala kesungguhan bukan hanya untuk mendapatkan kenikmatan
sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya di akhirat.
Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an dan
beberapa Hadits yang menerangkan keutamaan zuhud terhadap dunia:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari
yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi
Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan
Allah; dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
(QS.Ali Imran: 14-15).
Rasulullah saw. mengabarkan kepada
kita bahwa didatangkan orang yang paling senang di dunia sedang dia adalah ahli
neraka di hari kiamat, dicelupkan ke dalam api neraka satu kali celupan.
Kemudian ditanya, ”Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kebaikan?
Apakah engkau merasakan kenikmatan (di dunia)?” Maka dia menjawab, ”Tidak, demi
Allah, wahai Rabbku.” Kemudian didatangkan orang yang paling menderita di dunia
dan dia ahli surga, dicelupkan satu kali celupan di surga. Kemudian ditanya,
”Wahai Anak Adam, apakah engkau pernah menderita kesulitan? Apakah lewat padamu
suatu kesusahan (di dunia)?” Maka ia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai
Rabbku, tidak pernah aku mengalami kesusahan dan kesulitan sedikitpun.” (HR
Muslim)
5.
Kesalahpahaman terhadap Zuhud
Banyak orang yang salah paham
terhadap zuhud. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta,
menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian,
karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian
dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh
pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma minta-minta
mengharap sedekah dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah
atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar
memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama
tidak tertipu oleh dunia.
Segala yang halal itu jelas dan
segala yang haram itu jelas, di antara keduanya ada yang syubhat yang harus
kita jauhi dan tinggalkan.
Zuhud
bukan berarti hidup tanpa harta sebagaimana
sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian
orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan
pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud
dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh
menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar
memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang
zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas,
itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi
kita dalam memahami arti zuhud.
Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata
bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail
berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul
Mubarok,
أنت تأمرنا
بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟
“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud,
sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun
kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”
Ibnul Mubarok mengatakan,
يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي،
وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.
“Wahai
Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya
untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk
memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada
Rabbku”.
0 komentar:
Posting Komentar