A. KEBERLAKUAN KAIDAH HUKUM
Teori
keberlakuan kaidah hukum :
1. Kaedah
hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang
lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut cara yang telah
ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi
dan akibat. Berlakunya kaidah hukum secara filosofis apabila kaidah hukum
tersebut dipandang sesuai dengan cita-cita masyarakat.
2. Kaedah
hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya,
kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak
diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku
karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Berlakunya kaidah
hukum secara sosiologis menurut teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum
tersebut diterima dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori paksaan
berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum tersebut dipaksakan oleh penguasa.
3. Kaedah
hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan cita-cita hukum
sebagai nilai positif yang tertinggi.
Suatu kaidah hukum sebaiknya mengandung
3 aspek tersebut, yaitu jika kaidah hukum berlaku secara yuridis saja maka
hanya merupakan hukum mati sedang apabila hanya berlaku dari aspek sosiologis
saja dalam artian paksaan maka kaidah hukum tersebut tidak lebih dari sekedar
alat pemaksa. Apabila kaidah hukum hanya memenuhi syarat filososfis saja, maka
kaidah hukum tersebut tidak lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan.
Kalau ditelaah secara lebih mendalam,
maka agar supaya berfungsi, maka suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam
unsur tersebut ditas. Jika tidak terpenuhinya salah satu unsure tidak akan
berfungsi seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Contohnya kasus
Bibit dan Candra yang mendapat tantangan begitu luas dari masyarakat
Perumusan
kaidah hokum ada 2 macam, yaitu :
1. hipotetis/
bersyarat : yaitu yang menunjukkan adanya hubungan antara kondisi (sebab) dengan
konsekwensi (akibat) tertentu.
2. kategori
: yaitu suatu keadaan yang menurut hukum tidak menunjukkan adanya hubungan
antara kondisi(sebab) dengan konsekwensi(akibat).
Essensial bersifat mendasar Hukum
essensial adalah hukum yang bersifat mematoki, jadi bukanya memaksa karena
hukum itu sendiri tidak dapat memaksa dan ia dapat dilanggar. Yang menyebabkan
terjadinya paksaan adalah diri sendiri maupun orang lain (negara) hukum yang
baik yaitu hukum yang menggambarkan keinginan-keinginan masyarakatnya.
Menurut ZEVEN BARGEN: Berlakunya kaidah
hukum secara yuridis apabila kaidah hukum itu terbentuk sesuai dengan tata cara
atau prosedur yang berlaku
Menurut LOGEMANN : Berpendapat suatu
kaidah hukum itu berlaku secara yuridis apabila didalam kaidah hukum tersebut terdapat
hubungan sebab-akibat atau kondisi dan konsekwensi.
Menurut GUSTAF RADERUCH : Berpendapat di
dalam mencari dasar dari keberlakuan hendaklah dilihat dari
kewenangan-kewenangan pembentuk undang-undang.
A. Subyek
hukum
Secara bahasa, subyek hukum ialah
pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang
menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu
bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan
hukum (perusahaan, organisasi, institusi).
Yang membedakan keduanya adalah bahwa
manusia Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan
manusia sebagai subyek hukum yaitu;n Pertama, manusia mempunyai hak-hak
subyektif dan kedua, kewenangan hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti,
kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan
kewajiban.
Berdasarkan teori fiksi (Pasal 2
KUHPerdata), bahwa setiap bayi yang belum dilahirkan telah memiliki hak.
Artinya bahwa seluruh manusia pada prinsipnya telah menjadi subyek hukum, namun
yang kemudian dikecualikan oleh UU adalah yang dianggap tidak cakap / tidak
mampu. Sehingga yang membedakan antara subyek hukum yang cakap dan subyek hukum
yang tdk cakap adalah berkaitan dengan pemenuhan tanggung jawab. Bahwa subyek
hukum yang tidak cakap tdk dpt dikenakan tanggung jawab secara langsung namun
melalui pengampu atau curatele nya.
Pada dasarnya manusia mempunyai hak
sejak dalam kandungan (Pasal 2 KUH Perdata) disebut juga Teori Fiksi, namun
tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang
sudah dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang –orang yang
tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah ; orang yang belum dewasa, orang
yang ditaruh dibawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH
Perdata). Namun ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata telah dihapus sebagian, yang
berkaitan dengan wanita sebagai subyek hukum, oleh Yurisprudensi Mahkamah
Agung. Sehingga wanita dewasa pun sekarang dianggap sebagai subyek hukum juga.
Sedangkan pada badan hukum, tidak serta
merta memperoleh status sebagai subyek hukum, namun melalui proses pendaftaran
hingga pengesahan.
Hal tersebut didukung oleh pendapat dari
Salim HS, SH, Ms; bahwa teori yang paling berpengaruh dalam hukum positif
berkaitan keberadaan Badan Hukum sebagai Subyek Hukum adalah Teori Konsensi
dimana beliau bahwa berpendapat badan hukum dalam negara tidak dapat memiliki
kepribadian hukum (hak dan kewajiban dan harta kekayaan) kecuali di perkenankan
oleh hukum dalam hal ini berarti negara sendiri.
Kalimat "diperkenankan"
diartikan sebagai pengesahan oleh Negara melalui Departeman Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Depkumham) dan Pengadilan Negeri.
Pengertian tentang hubungan yang teratur
menyimpulkan berbagai pihak yang berhubungan dalam sistem itu. Masing-masing
pihak tersebut disebut subyek hukum. Subyek hukum adalah setiap pihak sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Dilihat dari sifatnya subyek hukum terdiri dari :
1. Mandiri,
karena berkemampuan penuh untuk bersikap tindak.
2. Terlindungi,
karena dianggap tidak mampu bersikap tindak
3. Perantara,
yang meskipun berkemampuan tetapi sikap tindak dibatasi sebatas kepentingan
pihak yang diantarai.
Dilihat
dari hakekatnya, subyek hukum dibedakan
- pribadi kodrati
- pribadi hukum
- tokoh/ pejabat, dalam hal ini dikaitkan dengan status.
Manusia
sebagai Subyek Hukum, berakhir sebagai Subyek Hukum apabila:
1. Telah
meninggal dunia
2. Telah
dinyatakan oleh UU bahwa tidak mampu bertanggung jawab baik secara pidana
maupun perdata
Subyek
Hukum yang berbentuk Badan Hukum, berakhir apabila:
1. Membubarkan
dirinya; atau
2. Telah
dinyatakan berakhir dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
(inkracht)
0 komentar:
Posting Komentar