Bencana ada yang merupakan adzab dari Allah bagi para penentang Rasul-rasul terdahulu, atau sebagai cobaan bagi orang beriman yang akan menghapus dosa-dosanya jika ia bersabar dan bisa juga sebagai peringatan. Contoh bencana azab adalah yang dijelaskan dalam Al Qur'an, Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, Maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan Allah sekali-kali tidak hendak Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Q.s. Al-Ankabut:40).
Bencana sebagai cobaan (ibtila') bagi mukmin, dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang--orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan : "Inna Lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun". (Q.s. al-Baqarah: 155-156). Ada pula musibah yang diberikan Allah sebagai peringatan agar kita kembali kepada kebenaran, dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; diantaranya ada orang-orang saleh dan diantaranya ada yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). (Q.s. al-A'raf: 168)
Bencana alam berupa letusan gunung api, banjir bandang, wabah penyakit, kekeringan, kelaparan, kebakaran, dan lain sebagainya, dalam pandangan alam Islam (Islamic worldview), tidaklah sekedar fenomena alam. Al Qur'an menyatakan dengan lugas bahwa segala kerusakan dan musibah yang menimpa umat manusia itu disebabkan oleh "perbuatan tangan mereka sendiri". Tentu saja kata 'tangan' sebatas simbol perbuatan dosa/maksiat, karena suatu perbuatan maksiat melibatkan panca indra, dan juga dikendalikan dan diprogram sedemikian rupa oleh otak, kehendak dan hawa nafsu manusia. Maksiat, sebagaimana taat, ada yang bersifat tasyri' Allah seperti melanggar perkara yang haram, dan ada yang bersifat menentang takwin Allah (sunatullah) seperti melanggar dan merusak alam lingkungan.
Dalam sudut pandang wahyu Allah terakhir, musibah dan bencana ada kaitannya dengan dosa atau maksiat yang dilakukan oleh manusia-manusia pendurhaka. Allah ta'ala berfirman, Dan apa saja musiban yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.s. As-Syura: 30). Ketika turun ayat itu Rasulullah Saw bersabda, "Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada satu luka, keringat, dan terkilirnya kaki kecuali DISEBABKAN DOSA (yang diperbuat), dan apa yang Allah maafkan dari dirinya jauh lebih besar." (HR al-Bayhaqi dalam Syu'ab al-Iman melalui jalur Qatadah mursal kepada Rasulullah Saw, namun at-Thabrani merawikannya dalam Mu'jam al-Awsath dan dinukil oleh as-Suyuthi dalam al-Jami' al-Shagir yang disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami' al-Shagir vol.5/120-121)
Namun disisi lain musibah atau bencana juga dapat menjadi penghapus dosa (kifarat) bagi hamba Allah yang sabar dan menerima takdir Allah dengan lapang dada. Nabi Muhammad Saw bersabda, "Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah menimpa seorang mukmin suatu kesulitan, cobaan, gelisah dan kesedihan kecuali Allah hapuskan darinya dengan aneka musibah itu semua kesalahan-kesalahannya, sampai duri yang menusuknya pun diganjar seperti itu." (HR Bukhari kitab al-Maradl no.5641-5642 dan Muslim kitab al-Birru wa al-Shilah no.2573).
Dari 'Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata, "Maukah aku kabarkan kalian dengan ayat paling utama di dalam Kitabullah yang disampaikan Rasulullah Saw kepada kami, yaitu dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Beliau Saw bersabda, Aku akan menafsirkannya untukmu wahai Ali, "Apapun yang menimpa kalian berupa penyakit, siksaan, atau bencana di duania, maka itu semua akibat perbuatan kalian, dan Allah lebih bijak daripada mengulangi siksaannya atas kamu nanti di akhirat. Dan apa yang telah Allah maafkan di dunia, maka Allah lebih bijak untuk kembali (menyiksamu) setelah dimaafkannya." (HR Ahmad dan Ibnu Hatim dengan redaksi marfu' dari Rasulullah Saw tapi dinilai dhaif karena Azhar bin Rasyid al-Kahili, salah satu perawinya, dilemahkan oleh Ibu Ma'in, Abu Hatim dan Ibnu Hajar, yang shahih adalah redaksi mawquf dari sayidina Ali ra riwayat al-Hakim)
Kezaliman kita terhadap diri sendiri dan juga terhadap hak-hak Allah dan alam semesta sungguh terlampau banyak. Kita patut bersyukur bahwa Allah tidak membinasakan kita semua karena kemaksiatan yang kita perbuat, sebab "Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya." (Q.s. An-Nahl: 61). Di dalam ayat lain yang senafas, Allah ta'ala juga menegaskan, Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (Q.s. Fathir:45).
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (vol.11/34) menulis, "Bencana kekurangan buah-buahan dan tanam-tanaman itu disebabkan merebaknya kemaksiatan." Abul 'Aliyah berkata, siapa yang bermaksiat kepada Allah di bumi maka ia telah berbuat kerusakan di bumi, karena kebaikan dan keberkahan bumi dan langit itu terjadi karena ketaatan hamba kepada Allah.
Oleh sebab itulah Rasulullah Saw menyatakan dalam sabdanya, "Suuatu hudud yang ditegakkan di bumi itu lebih disenangi dan memberi keberkahan untuk penduduknya dari pada mereka diberikan hujan selama 40 hari" (HR Ahmad dalam al-Musnad vol. 2/362 dan an-Nasai vol. 8/75 dari Abu Hurairah ra). Hal itu karena, jika hudud (hukuman badan bukan kurungan badan) itu diterapkan maka kebanyakan umat manusia akan menjauhi perkara-perkara haram seperti mencuri, berzina, meminum khamar dan lainnya sehingga aman dan sejahteralah hidup manusia. Sebaliknya jika aneka maksiat dikerjakan maka itu adalah penyebab hilangnya pelbagai keberkahan hidup dari langit dan bumi.
Jika seorang manusia tidak beriman dengan baik, maka ia akan terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan. Kejahatan itu tidak hanya dirasakan dampak negatif untuk dirinya sendiri, melainkan kerap kali merugikan/membahayakan orang banyak, merusak fasilitas umum, mengurangi kualitas infrastruktur, tidak terpenuhinya standar pelayanan berkualitas, bahkan dapat merusak ekosistem dan membunuh binatang. Kekufuran yang berujung kepada kemaksiatan memang menyengsarakan banyak makhluk Allah. Sehingga wajar jika Rasulullah Saw bersabda, "Jika orang jahat (ahli maksiat) meninggal dunia sungguh hamba-hamba Allah, negeri-negeri, pohon dan binatang merasa senang dan beristirahat dari kejahatannya." (HR Bukhari no. 6512)
Akhirnya, marilah kita perbaiki kualitas hubungan kita dengan Allah ta'ala agar kualitas hubungan timbal balik kita dengan masyarakan dan alam lingkungan sekitar kita juga dapat diperbaiki dan berjalan secara harmonis. Wallahu a'lam
Sumber: suara-islam.com
0 komentar:
Posting Komentar