Minggu, 26 Januari 2014

Sejarah Berdirinya Yayasan PONPES Tarbiyah Islamiah Sebukar

Pada tahun 1946, H. Khalik salah seorang penduduk asli dusun (desa) Sebukar Kerinci kembali ke dusun ini setelah selama 16 tahun menuntut ilmu dan menetap di Mekkah. Kepulangannya itu membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan keberagamaan masyarakat desa Sebukar khususnya dan masyarakat Kerinci pada umumnya. Sebagai seorang yang baru kembali dari menuntut ilmu di Mekkah, beliau mempunyai kharisma yang sangat tinggi di dalam masyarakat desa Sebukar dan masyarakat Kerinci. Mulai saat itu, beliau mengajarkan ilmu agama secara sukarela di rumahnya sendiri dan waktu belajarnya dibagi menjadi dua, yaitu pagi hari setelah shalat subuh sampai jam 7.30 dan malamnya dari jam 19.00 s/d jam 21.00 setiap hari kecuali pada hari jum'at (hari libur).
Murid-murid pada awalnya hanya berasal dari desa Sebukar, dengan jumlah murid "sepenuh rumah guru" sekitar 20–30 orang (Jamaluddin, Wawancara 14 Oktober 2011). Namun keadaannya semakin hari semakin berkembang, baik dari segi jumlah, jenis kelamin, dan usia, semuanya bercampur menjadi satu tanpa ada pemisahan dan rumah guru tidak mampu lagi menampungnya. Atas kesepakatan bersama, murid-murid itu dipisahkan, orang-orang dewasa belajar pagi dan remaja belajar pada malamnya, sementara anak-anak tidak mendapat waktu sama sekali. Pada priode ini materi pelajaran adalah dasar-dasar keagamaan dengan sistem nonklasikal dan metode muzakarah (musyawarah). Artinya guru dan murid duduk berdampingan tanpa pemisahan.
Untuk lebih mengembangkan ilmu serta didorong oleh respon logis terhadap kondisi pendidikan masyarakat pada saat itu, pada tahun 1952 terjadi perubahan yang sangat fundamental, yaitu perubahan struktur atau tingkatan, kepemimpinan, materi pelajaran, jumlah guru dan murid. Dari segi tingkatan, H. Khalik memprakarsai pendirian Madrasah Awaliyah (setingkat Taman Kanak-Kanak) dan Madrasah Ibtidaiyah. Walaupun sudah bernama madrasah, tempat belajarnya masih tetap menggunakan rumah H. Khalik dan rumah tetangganya. Menurut Jamaluddin, "bangunan rumah pada saat itu berbentuk panggung serta menyatu antara satu dengan lain yang di "rumah panjang" atau "rumah kereta api", yang dihubungkan sebuah pintu dan dibatasi dinding papan yang sewaktu-waktu bisa dibuka sehingga terkesan "rumah panjang" itu tidak ada pembatasnya.
Pada periode ini, Madrasah ini membutuhkan tenaga pengajar yang banyak. Untuk ini H. Khalik dibantu oleh guru-guru yang telah mendapat kepercayaannya. Murid-murid Madrasah Awaliyah adalah anak-anak usia sekolah dasar, sedangkan murid Madrasah Ibtidaiyah adalah mereka yang sudah remaja dan atau dewasa. Seiring dengan pengembangan tingkatan menjadi MI dan MTs menuntut diangkatnya kepala madrasah untuk masing-masing tingkatan.
Di bidang materi pelajaran, juga terjadi perkembangan. Pada Madrasah Awaliyah diajarkan tulis-baca Al-Qur'an, ditambah dengan pengetahuan dasar keagamaan, bahasa Arab dan praktek ibadah. Pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah, yang merupakan lanjutan dari Madrasah Awaliyah, murid sudah mulai belajar membaca kitab berbahasa Arab yang berharakat. Ciri yang paling menonjol dalam Madrasah Ibtidaiyah ini adalah: Pertama, materi pelajaran terkonsentrasi kepada pengembangan dan pendalaman ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqh, tasawuf, akhlak, tafsir, hadist dan lain-lain yang terkonsentrasi pada pembahasan kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab. Kedua, metodenya adalah sorogan, wetonan dan muzakarah (musyawarah). Ketiga, sistemnya nonklasikal dengan memakai sistem halaqah. Outputnya diharapkan akan menjadi ulama, kiyai, ustaz, guru agama, dan juga menduduki jabatan-jabatan penting keagamaan dari tingkat yang paling tinggi seperti mufti sampai ke tingkat pengurusan soal-soal yang berkenaan dengan fardu kifayah ketika seseorang meninggal dunia. Ini berarti materi pelajaran yang dipentingkan pada tahap awal adalah pengenalan nilai-nilai Islami.
Melihat perkembangan madrasah yang semakin pesat dibentuk panitia pembangunan gedung beranggotakan pemuka-pemuka masyarakat yang bekerja menghimpun dana dan bahan bangunan dari masyarakat serta melaksanakan pembangunannya secara sukarela. Pada tahun 1955, selesai pula pembangunan gedung semi permanen yang dananya sepenuhnya bersumber dari swadaya masyarakat. Bersamaan dengan peresmian pemakaian gedung diresmikan pula pengembangan madrasah menjadi Sekolah Menengah Islam (SMI). Pada tahun berikutnya 1956 berganti nama menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Berarti sejak tahun 1955 madrasah ini telah menempuh babak baru bagi perkembangan lembaga pendidikan di Sebukar, dimana terjadi berbagai perubahan. Dari segi fisik, MTI sudah menggunakan gedung sebagai tempat belajar anak-anak dan remaja (orang-orang dewasa masih tetap mengaji di rumah H. Khalik). Dari segi waktu, masa belajarnya tujuh tahun, dan berjalan sampai tahun 1978.
Dari segi mata pelajaran, anak-anak yang berusia 6 – 10 tahun diberikan pengetahuan dasar bahasa Arab, mengenal huruf-huruf Al-Quran, Juz 'Amma dengan metode Baghdady, dasar-dasar pengetahuan syari'at Islam dan belajar menulis huruf Arab Melayu dan lain-lain. Murid yang mempunyai kemampuan luar biasa atau telah memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan oleh guru berhak mendapatkan pelayanan percepatan; dia langsung dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi, bagi anak yang tingkat kemampuannya lambat akan berada di kelas yang sama sampai 2–3 tahun (Zainun Manaf, Wawancara 15 Oktober 2011).
Pada kelas II, para murid sudah mulai membaca kitab berbahasa Arab yang mempunyai harakat (berbaris), sedangkan pada kelas III – VII kitabnya sudah tidak berharakat lagi atau lazimnya disebut dengan "kitab gundul". Mata pelajaran dari kelas II – VII sama, yaitu : 1) Ilmu Bahasa Arab, 2) Tauhid, 3) Sejarah Islam, 4) Fiqih, 5) Hadits, 6) Tafsir/Ilmu Tafsir, 7) Ulum Al Hadits, 8) Ulum Al Quran, 9) Tasawuf dan 10) Akhlak. Hanya saja yang membedakannya adalah jenis dan tingkat kesulitan kitab yang digunakan, termasuk juga tingkat kemampuan murid akan menentukan dia akan dimasukkan ke kelas berapa. Kitab-kitab yang dipakai untuk masing-masing mata pelajaran dari kelas II–VII saling berhungan dan merupakan pengembangan bahasan dari kitab sebelumnya. Sesuai dengan kelas dan kitab yang sudah ditetapkan, setiap murid harus membacanya sampai tamat yang dibimbing oleh guru di kelas dan mengahafalnya setelah sampai di rumah. Pelajaran hari ini langsung di evaluasi keesokannya oleh guru. Selama murid belum memiliki kompetensi tentang pelajaran terdahulu, guru tidak akan berpindah ke topik lain. Oleh sebab itu, setiap murid berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik di kelasnya, atau sekurang-kurangnya para murid menjadikan diri mereka tidak sebagai penyebab bagi diulangnya materi terdahulu pada hari berikutnya. Jadi, pada masa ini, pihak pengurus dan guru MTI sudah menerapkan kurikulum dan silabus berbasis kompetensi (KBK) sesuai dengan bab yang dibahas dalam kitab-kitab itu walaupun kompetensi itu masih mengutamakan hafalan. Ini berarti kurikulum dan silabusnya tidak tertulis atau tercatat secara khusus.
Mulai tahun 1967, MTI yang masa belajarnya tujuh tahun itu dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni Madrasah Ibtidaiyah Agama Islam Swasta (MIAIS) dan selanjutnya digunakan istilah Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang menjadi cikal bakal keberadaan Madrasah Ibtidaiyah No. 28/E.3 Sebukar sekarang ini. Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Swasta (MTsAIS) menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah Agama Islam Swasta (MAAIS) yang menjadi Madrasah Aliyah (MA) dan juga sebagai cikal bakal keberadaan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sebukar yang ada sekarang ini.
Pembagian jenjang pendidikan di atas cukup beralasan, terutama untuk jenjang Madrasah Aliyah, karena pada saat itu Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Kerinci masih sangat minim. Bahkan di lingkungan "Inspeksi Pendidikan Agama" pada waktu itu dan sekarang Departemen Agama Kabupaten Kerinci, hanya ada dua sekolah menengah, yaitu Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun dan Pendidikan Guru Agama (PGA) Putri yang terletak di ibu kota kabupaten. Di Kecamatan Sitinjau Laut, tempat desa Sebukar dan MTI itu berada, pada waktu itu belum ada sekolah menengah. Selain itu, ada masukan dari para tamatan Madrasah ini, bahwa ijazah Madrasah yang diterimanya dari MTI tidak diakui dan tidak dapat diterima masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta tidak dapat digunakan sebagai bahan melamar menjadi pegawai negeri sipil. Dengan perubahan ini murid yang sudah kelas III di MTI bisa mengikuti ujian negara pada Madrasah Ibtidaiyah Agama Islam Negeri (MIAIN), kelas IV MTI dapat mengikuti ujian negara pada Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTsAIN), begitu pula kelas VII dapat mengikuti ujian negara pada Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Hal ini dilakukan agar peserta didik bisa memperoleh ijazah negeri setelah tamat MTI, dan diharapkan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dari uraian di atas, kita mengetahui betapa besarnya peran MTI dalam mewujudkan Madrasdan ah Ibtidaiyah Madrasah Aliyah Negeri. Dengan telah dinegerikannya MAAIS menjadi MAAIN, di MTI nama MAAIS itu masih tetap dipakai bagi murid kelas VI dan VII. Kemudian pada tahun 1979, MTI berubah menjadi Pondok Pesantren yang terdiri atas tiga tingkatan, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).
Dari latar belakang sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan madrasah mengalami kemajuan yang pesat dan mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Madrasah ini sejak awal berdirinya melaksanakan pendidikan secara gratis. Keadaan ini tidak mengurangi semangat guru dan pengurus dalam melaksanakan proses pembelajaran, pengawasan dan melakukan evaluasi. Semuanya dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih sampai saat ini.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar