Sabtu, 04 Juni 2016

FILOSOFI PENGETAHUAN ILMIAH


A.    Pengertian Ilmu
Pengetahuan ilmuah atau ilmu (bah. Inggris Science dan Latin Scientia yang diturunkan dari kata scire), memiliki makna ganda, yaitu; mengetahui (to know), dan belajar (to learn). Sisi pertama to know menunjuk pada aspek statis ilmu, yaitu sebagai hasil, berupa pengetahuan sistematis. Sisi kedua menunjuk pada hakikat dinamis ilmu, sebagai sebuah proses (aktivitas-metodis). Sisi kedua tersebut hendak menunjukkan bahwa ilmu sebagai aktifitas pembelajaran, bukanlah sebuah aktifitas menunggu secara pasif, melainkan merupakan sebuah usaha secara aktif untuk menggali, mencari, mengejar, atau menyelidiki sampai pengetahuan itu diperoleh secara utuh, obyektif, valid, dan sistematis.
Ilmu sebagai aktifitas, menggambarkan hakikat ilmu sebagai sebuah rangkaian aktivitas pemikiran rasional, kognitif, dan teleologis (tujuan). Rasional artinya, proses aktifitas yang menggunakan kemampuan pemikiran untuk menalar dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah logika, kognitif artinya; aktivitas pemikiran yang bertalian dengan; pengenalan, pencerapan, pengkonsepsian, dalam membangun pemahaman pemahaman secara terstruktur guna memperoleh pengetahuan, dan teleologis artinya; proses pemikiran dan penelitian yang mengarah pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, misalnya; kebenaran pengetahuan, serta memberi pemahaman, penjelasan, peramalan, pengendalian, dan aplikasi atau penerapan. Semua itu dilakukan setiap ilmuwan dalam bentuk penelitian, pengkajian, atau dalam rangka pengembangan ilmu.
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwasebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebutsejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmumerupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafatyang dianut.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge IsPower”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbulmenurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannyadengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atauteoritis dengan ilmu terapan atau praktis.Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan padakomponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi,epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999),yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentangdunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpakritik dari filsafat.
B.     Pengertian Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses berdasarkan metode ilmiah merupakan pengetahuan yang "memenuhi syarat-syarat keilmuan", dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Pengetahuan ilmiah ini diproses melalui serangkaian langkah-langkah tertentu yang dilakukan dengan penuh kedisiplinan, dan dari karakter inilah maka ilmu sering dikonotasikan sebagai disiplin. Disiplin inilah yang memungkinkan ilmu berkembang relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu dapat diibaratkan sebagai "piramida terbalik" dengan perkembangan pengetahuannya yang bersifat kumulatif, dimana penemuan pengetahuan ilmiah yang satu memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya.
Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal, diakui sebagai pernyataan pengetahuan ilmiah yang baru, yang dapat memperkaya khazanah keilmuan yang telah ada. Sekranya pengetahuan ilmiah yang baru ini kemudian ternyata salah, disebabkan kelengahan dalam salah satu langkah dalam proses penemuannya, maka cepat atau lambat kesalahan ini akan segera diketahui, dan pengetahuan tersebut akan dibuang dari khazanah keilmuan.
Metode ilmiah mempunyai mekanisme "umpan balik" yang bersifat korektif, yang memungkinkan upaya keilmuan menemukan kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sebaliknya, bila ternyata bahwa sebuah pengetahuan ilmiah yang baru itu adalah benar, maka pernyataan yang terkandung dalam pengetahuan ini dapat digunakan sebagai premis baru dalam kerangka pemikiran yang menghasilkan hipotesis-hipotesis baru, yang bila kemudian ternyata dibenarkan dalam proses pengujian akan menghasilkan pengetahuan-pengetahauan ilmiah baru pula.
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dansophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali.Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telahdikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secaraharafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentangkenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalamsegala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.. Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmosdalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahanterhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya(The Liang Gie, 1999).Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankanoleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseoranguntuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkankebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnyakekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebihlanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
C.     Filosofi Pengetahuan Ilmiah
1.      Filosofi Positivisme
Pada abad ke-19, dunia filsafat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Pengaruh itu terutama sangat terasa di bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam sejarah filsafat Barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan “Abad Positivisme”. Suatu abad yang ditandai dengan dominasi fikiran – fikiran ilmiah, atau apa yang disebut ilmu pengetauan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai dan diukur menurut nilai positivistiknya, sedang perhatian orang kepada filsafat, lebih ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan perbuatan manusia. Orang tidak lagi memandang penting tentang “dunia yang abstrak”.
Menurut paradigma positivisme, pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum. Ilmu pengetahuan mengalami akumulasi melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta (fakta yang mungkin) berperan sebagai semacam bahan pembentuk yang ketika ditempatkan dalam posisinya yang sesuai, menyempurnakan bangunan pengetahuan yang terus tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi atau pertalian sebab-akibat, maka fakta tersebut bisa digunakan secara sangat efisien untuk memprediksi dan mengendalikan. Dengan demikian generalisasi pun bisa dibuat, dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan.
Filosofi penelitian dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat secara umum, yaitu :
a.       Ontologi (materi) merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran penelitian yang berada dalam kawasan dunia empiri.
b.      Epistimologi (metode) merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan.
c.       Aksilogi (nilai). Dalam hal ini penelitian kuantitatif menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif yang berlaku secara umum dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat spesifik.
2.      Filosofi Intervretif
Paradigma positivis melibatkan konsep-konsep seperti kuantifikasi, hipotesis, dan langkah-langkah tujuan. Itu paradigma positivis adalah salah satu yang mendasari pendekatan dari buku ini. Ilmu sosial interpretif jejak akarnya Max Weber dan Wilhelm Dilthey. Tujuannya dari paradigma interpretif adalah memahami bagaimana orang-orang dalam setting alami sehari-hari membuat berarti dan menafsirkan peristiwa mereka.
Paradigma positivis berbeda dari paradigma interpretif sepanjang tiga utama dimensi. Pertama, kedua pendekatan memiliki filosofi yang berbeda dari realitas. Untuk Peneliti positivis, realitas objektif, melainkan ada selain peneliti dan dapat dilihat oleh semua. Dengan kata lain, itu adalah di luar sana. Bagi peneliti interpretatif, tidak ada realitas tunggal. Setiap pengamat menciptakan realitas sebagai bagian dari proses penelitian. Ini adalah subyektif dan hanya ada di referensi ke pengamat. Mungkin contoh klasik akan membantu di sini. Jika pohon jatuh di hutan dan ada tidak ada seorang pun di sana mendengarnya, apakah itu membuat suara apapun? Di satu sisi, seorang positivis akan menjawab ya-realitas tidak tergantung pada pengamat, itu ada secara independen. Pada sisi lain, seorang peneliti interpretif akan mengatakan tidak ada suara dibuat-realitas ada hanya di pengamat. Selain itu, Peneliti positivis percaya bahwa realitas dapat dibagi menjadi beberapa bagian, dan pengetahuan tentang keseluruhan diperoleh dengan melihat pada bagian. Sebaliknya, yang interpretif Peneliti memeriksa seluruh proses, percaya realitas yang holistik dan tidak bisa dibagi. Kedua, dua pendekatan yang berbeda memiliki dilihat dari individu. para positivis Peneliti percaya semua manusia pada dasarnya serupa dan mencari kategori umum untuk meringkas perilaku atau perasaan. Penyidik ​​interpretif percaya bahwa manusia pada dasarnya berbeda dan tidak dapat pigeonholed. Ketiga, peneliti positivis bertujuan untuk menghasilkan umum hukum perilaku dan menjelaskan banyak hal di banyak rangkaian. Sebaliknya, sarjana interpretif berusaha untuk menghasilkan penjelasan yang unik tentang diberikan situasi atau individu. sedangkan positivis peneliti berusaha untuk luas, interpretif peneliti berusaha untuk kedalaman. Praktis perbedaan antara pendekatan yang mungkin paling jelas dalam proses penelitian. Berikut lima besar daerah penelitian menunjukkan signifikan perbedaan antara positivis dan interpretatif pendekatan:
a.       Peran peneliti. para positivis peneliti berusaha untuk objektivitas dan dipisahkan dari data. The interpretif Peneliti merupakan bagian integral dari data, dalam Bahkan, tanpa partisipasi aktif dari peneliti, tidak ada data.
b.      Desain. Untuk positivis, desain studi ditentukan sebelum dimulai. dalam penafsiran penelitian, desain berkembang selama penelitian, bisa disesuaikan atau diubah sebagai penelitian berlangsung.
c.       Mengatur. Peneliti positivis mencoba untuk membatasi mengkontaminasi dan membingungkan variabel dengan melakukan investigasi dalam pengaturan terkontrol. Peneliti interpretif melakukan penelitian di lapangan, di Lingkungan alam, mencoba untuk menangkap yang normal aliran peristiwa tanpa mengendalikan variabel asing.
d.      Pengukuran instrumen. dalam positivis penelitian, instrumen pengukuran yang ada selain peneliti; pihak lain bisa menggunakan instrumen untuk mengumpulkan data dalam peneliti adanya. Dalam penelitian interpretif, peneliti adalah instrumen, tidak ada individu lain dapat menggantikan.
e.       Teori bangunan. Dimana positivis Peneliti menggunakan penelitian untuk menguji, dukungan, atau menolak teori, peneliti interpretif mengembangkan teori sebagai bagian dari penelitian Proses-teori "data didorong" dan muncul sebagai bagian dari proses penelitian, berkembang dari data seperti yang dikumpulkan.

3.      Filosofi Kritis
Paradigma kritis mengacu pada analisis Model yang digunakan dalam humaniora. Kritis peneliti tertarik dalam konsep tersebut sebagai distribusi kekuasaan di masyarakat dan politik ideologi. Meskipun berguna dalam banyak kasus, pertimbangan dari paradigma kritis berada di luar cakupan buku ini. Tertarik pembaca harus berkonsultasi Hall (1982). Pada risiko dari penyederhanaan, dalam sisa bagian ini kita membandingkan positivis dan interpretatif paradigma.
Teori kritis adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sebagai istilah, teori kritis memiliki dua makna dengan asal-usul dan sejarah yang berbeda: pertama berasal dari sosiologi dan yang kedua berasal dari kritik sastra, dimana digunakan dan diterapkan sebagai istilah umum yang dapat menggambarkan teori yang didasarkan atas kritik; dengan demikian, teori Max Horkheimer menggambarkan teori kritis adalah, sejauh berusaha "untuk membebaskan manusia dari keadaan yang memperbudak mereka."
Dalam filsafat, istilah teori kritis menggambarkan filosofi neo-Marxis dari Frankfurt School, yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Teori Frankfurt menarik tentang metode kritis Karl Marx dan Sigmund Freud. Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi adalah kendala utama untuk pembebasan manusia. Teori Kritis didirikan sebagai sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima tokoh teori Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Erich Fromm. Teori kritis modern telah bertambah dipengaruhi oleh György Lukacs dan Antonio Gramsci, serta generasi kedua sarjana Mazhab Frankfurt, terutama Jürgen Habermas. Dalam karya Habermas, teori kritis melampaui akar teoritis dalam idealisme Jerman, dan berkembang lebih dekat dengan pragmatisme Amerika. Kepedulian terhadap "dasar dan suprastruktur" sosial adalah salah satu yang tersisa dari konsep filsafat Marxis di banyak teori kritis kontemporer.
Sementara teori kritis telah sering kali didefinisikan sebagai intelektual Marxis,[4] kecenderungan mereka untuk mengecam beberapa konsep Marxis dan untuk menggabungkan analisis Marxian dengan tradisi sosiologis dan filosofis lainnya telah menimbulkan tuduhan revisionisme oleh para Klasik, Ortodoks, dan Analisis Marxis, dan oleh filsuf Marxis Leninis. Martin Jay telah menyatakan bahwa generasi pertama teori kritis paling baik dipahami dengan tidak mempromosikan agenda filosofis tertentu atau ideologi tertentu, tetapi sebagai "pengganggu dari sistem lain".



Share:

0 komentar:

Posting Komentar