A. Pengertian Ilmu
Pengetahuan
ilmuah atau ilmu (bah. Inggris Science dan Latin Scientia yang diturunkan dari kata scire), memiliki makna ganda, yaitu; mengetahui (to know), dan belajar (to learn). Sisi pertama to know menunjuk pada aspek statis ilmu,
yaitu sebagai hasil, berupa pengetahuan sistematis. Sisi kedua menunjuk pada
hakikat dinamis ilmu, sebagai sebuah proses (aktivitas-metodis). Sisi kedua
tersebut hendak menunjukkan bahwa ilmu sebagai aktifitas pembelajaran, bukanlah
sebuah aktifitas menunggu secara pasif, melainkan merupakan sebuah usaha secara
aktif untuk menggali, mencari, mengejar, atau menyelidiki sampai pengetahuan
itu diperoleh secara utuh, obyektif, valid, dan sistematis.
Ilmu
sebagai aktifitas, menggambarkan hakikat ilmu sebagai sebuah rangkaian
aktivitas pemikiran rasional, kognitif, dan teleologis (tujuan). Rasional
artinya, proses aktifitas yang menggunakan kemampuan pemikiran untuk menalar
dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah logika, kognitif artinya; aktivitas
pemikiran yang bertalian dengan; pengenalan, pencerapan, pengkonsepsian, dalam
membangun pemahaman pemahaman secara terstruktur guna memperoleh pengetahuan,
dan teleologis artinya; proses pemikiran dan penelitian yang mengarah pada
pencapaian tujuan-tujuan tertentu, misalnya; kebenaran pengetahuan, serta
memberi pemahaman, penjelasan, peramalan, pengendalian, dan aplikasi atau
penerapan. Semua itu dilakukan setiap ilmuwan dalam bentuk penelitian,
pengkajian, atau dalam rangka pengembangan ilmu.
Ditinjau
dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani,
“philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Lebih lanjut Nuchelmans
(1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada
abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwasebelum abad ke 17
tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat
tersebutsejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa
dahulu ilmumerupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu
bergantung pada sistem filsafatyang dianut.
Terlepas
dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan,
sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge IsPower”, kita
dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia,
baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi
yang timbulmenurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat
erat hubungannyadengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas
antara ilmu dasar-murni atauteoritis dengan ilmu terapan atau praktis.Lebih
lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau
ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu
sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai
cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang
garapan filsafat ilmu terutama diarahkan padakomponen-komponen yang menjadi
tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi,epistemologi dan
aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie,
1999),yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang
ilmu atau tentangdunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.Interaksi antara ilmu
dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak
dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat
tumbuh dengan baik tanpakritik dari filsafat.
B. Pengertian Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan
yang diproses berdasarkan metode ilmiah merupakan pengetahuan yang
"memenuhi syarat-syarat keilmuan", dan dengan demikian dapat disebut
pengetahuan ilmiah atau ilmu. Pengetahuan ilmiah ini diproses
melalui serangkaian langkah-langkah tertentu yang dilakukan dengan penuh
kedisiplinan, dan dari karakter inilah maka ilmu sering dikonotasikan sebagai
disiplin. Disiplin inilah yang memungkinkan ilmu berkembang relatif lebih cepat
bila dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu dapat
diibaratkan sebagai "piramida terbalik" dengan perkembangan
pengetahuannya yang bersifat kumulatif, dimana penemuan pengetahuan
ilmiah yang satu memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang
lainnya.
Sebuah
hipotesis yang telah teruji secara formal, diakui sebagai pernyataan
pengetahuan ilmiah yang baru, yang dapat memperkaya khazanah keilmuan
yang telah ada. Sekranya pengetahuan ilmiah yang baru ini kemudian ternyata
salah, disebabkan kelengahan dalam salah satu langkah dalam proses penemuannya,
maka cepat atau lambat kesalahan ini akan segera diketahui, dan pengetahuan
tersebut akan dibuang dari khazanah keilmuan.
Metode ilmiah mempunyai mekanisme "umpan
balik" yang bersifat korektif, yang memungkinkan upaya keilmuan
menemukan kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sebaliknya, bila ternyata bahwa
sebuah pengetahuan ilmiah yang baru itu adalah benar, maka pernyataan yang
terkandung dalam pengetahuan ini dapat digunakan sebagai premis baru dalam
kerangka pemikiran yang menghasilkan hipotesis-hipotesis baru, yang bila
kemudian ternyata dibenarkan dalam proses pengujian akan menghasilkan
pengetahuan-pengetahauan ilmiah baru pula.
Perkataan
Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia”
yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos
(philia, cinta) dansophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari
zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan
pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali.Dahulu sophia tidak
hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran
pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat
sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan
soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).Banyak pengertian-pengertian atau
definisi-definisi tentang filsafat yang telahdikemukakan oleh para filsuf.
Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secaraharafiah filsafat berarti
cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentangkenyataan-kenyataan
yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalamsegala
aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.. Ia
merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau
kosmosdalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah
suatu penelaahanterhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya,
unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya(The Liang Gie, 1999).Menurut sejarah
kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankanoleh
Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran
seseoranguntuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa
dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan
penalarannya untuk mendapatkankebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya
filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap
awalnyakekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam
perkembangan lebihlanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak
semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh
menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir
tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu
harus persoalan filsafat.
C. Filosofi Pengetahuan Ilmiah
1. Filosofi Positivisme
Pada abad
ke-19, dunia filsafat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Pengaruh
itu terutama sangat terasa di bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam
sejarah filsafat Barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan “Abad Positivisme”.
Suatu abad yang ditandai dengan dominasi fikiran – fikiran ilmiah, atau apa
yang disebut ilmu pengetauan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai
dan diukur menurut nilai positivistiknya, sedang perhatian orang kepada
filsafat, lebih ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku
dan perbuatan manusia. Orang tidak lagi memandang penting tentang “dunia yang
abstrak”.
Menurut
paradigma positivisme, pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang
diverifikasi dan dapat diterima
sebagai fakta atau hukum. Ilmu pengetahuan mengalami akumulasi melalui proses
pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta (fakta yang mungkin)
berperan sebagai semacam bahan pembentuk yang ketika ditempatkan dalam
posisinya yang sesuai, menyempurnakan bangunan pengetahuan yang terus tumbuh.
Ketika faktanya berbentuk generalisasi atau pertalian sebab-akibat, maka fakta
tersebut bisa digunakan secara sangat efisien untuk memprediksi dan
mengendalikan. Dengan demikian generalisasi pun bisa dibuat, dengan kepercayaan
yang bisa diprediksikan.
Filosofi
penelitian dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat secara umum,
yaitu :
a.
Ontologi (materi) merupakan unsur dalam pengembangan
filsafat sebagai ilmu yang membicarakan tentang obyek (materi) kajian suatu
ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran penelitian
yang berada dalam kawasan dunia empiri.
b.
Epistimologi (metode) merupakan unsur dalam pengembangan
ilmu filsafat yang membicarakan bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh
kebenaran pengetahuan.
c.
Aksilogi (nilai). Dalam hal ini penelitian kuantitatif
menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif yang berlaku secara umum dan
mengesampingkan hal-hal yang bersifat spesifik.
2. Filosofi Intervretif
Paradigma
positivis melibatkan konsep-konsep seperti kuantifikasi, hipotesis, dan
langkah-langkah tujuan. Itu paradigma positivis adalah salah satu yang
mendasari pendekatan dari buku ini. Ilmu sosial interpretif jejak akarnya Max
Weber dan Wilhelm Dilthey. Tujuannya dari paradigma interpretif adalah memahami
bagaimana orang-orang dalam setting alami sehari-hari membuat berarti dan
menafsirkan peristiwa mereka.
Paradigma
positivis berbeda dari paradigma interpretif sepanjang tiga utama dimensi.
Pertama, kedua pendekatan memiliki filosofi yang berbeda dari realitas. Untuk
Peneliti positivis, realitas objektif, melainkan ada selain peneliti dan dapat
dilihat oleh semua. Dengan kata lain, itu adalah di luar sana. Bagi peneliti
interpretatif, tidak ada realitas tunggal. Setiap pengamat menciptakan realitas
sebagai bagian dari proses penelitian. Ini adalah subyektif dan hanya ada di
referensi ke pengamat. Mungkin contoh klasik akan membantu di sini. Jika pohon
jatuh di hutan dan ada tidak ada seorang pun di sana mendengarnya, apakah itu
membuat suara apapun? Di satu sisi, seorang positivis akan menjawab ya-realitas
tidak tergantung pada pengamat, itu ada secara independen. Pada sisi lain,
seorang peneliti interpretif akan mengatakan tidak ada suara dibuat-realitas
ada hanya di pengamat. Selain itu, Peneliti positivis percaya bahwa realitas
dapat dibagi menjadi beberapa bagian, dan pengetahuan tentang keseluruhan
diperoleh dengan melihat pada bagian. Sebaliknya, yang interpretif Peneliti
memeriksa seluruh proses, percaya realitas yang holistik dan tidak bisa dibagi.
Kedua, dua pendekatan yang berbeda memiliki dilihat dari individu. para
positivis Peneliti percaya semua manusia pada dasarnya serupa dan mencari
kategori umum untuk meringkas perilaku atau perasaan. Penyidik interpretif
percaya bahwa manusia pada dasarnya berbeda dan tidak dapat pigeonholed.
Ketiga, peneliti positivis bertujuan untuk menghasilkan umum hukum perilaku dan
menjelaskan banyak hal di banyak rangkaian. Sebaliknya, sarjana interpretif
berusaha untuk menghasilkan penjelasan yang unik tentang diberikan situasi atau
individu. sedangkan positivis peneliti berusaha untuk luas, interpretif
peneliti berusaha untuk kedalaman. Praktis perbedaan antara pendekatan yang
mungkin paling jelas dalam proses penelitian. Berikut lima besar daerah
penelitian menunjukkan signifikan perbedaan antara positivis dan interpretatif
pendekatan:
a. Peran peneliti. para positivis peneliti
berusaha untuk objektivitas dan dipisahkan dari data. The interpretif Peneliti
merupakan bagian integral dari data, dalam Bahkan, tanpa partisipasi aktif dari
peneliti, tidak ada data.
b. Desain. Untuk positivis, desain
studi ditentukan sebelum dimulai. dalam penafsiran penelitian, desain
berkembang selama penelitian, bisa disesuaikan atau diubah sebagai penelitian
berlangsung.
c. Mengatur. Peneliti positivis mencoba
untuk membatasi mengkontaminasi dan membingungkan variabel dengan melakukan
investigasi dalam pengaturan terkontrol. Peneliti interpretif melakukan
penelitian di lapangan, di Lingkungan alam, mencoba untuk menangkap yang normal
aliran peristiwa tanpa mengendalikan variabel asing.
d. Pengukuran instrumen. dalam
positivis penelitian, instrumen pengukuran yang ada selain peneliti; pihak lain
bisa menggunakan instrumen untuk mengumpulkan data dalam peneliti adanya. Dalam
penelitian interpretif, peneliti adalah instrumen, tidak ada individu lain
dapat menggantikan.
e. Teori bangunan. Dimana positivis
Peneliti menggunakan penelitian untuk menguji, dukungan, atau menolak teori,
peneliti interpretif mengembangkan teori sebagai bagian dari penelitian
Proses-teori "data didorong" dan muncul sebagai bagian dari proses
penelitian, berkembang dari data seperti yang dikumpulkan.
3. Filosofi Kritis
Paradigma
kritis mengacu pada analisis Model yang digunakan dalam humaniora. Kritis
peneliti tertarik dalam konsep tersebut sebagai distribusi kekuasaan di
masyarakat dan politik ideologi. Meskipun berguna dalam banyak kasus,
pertimbangan dari paradigma kritis berada di luar cakupan buku ini. Tertarik
pembaca harus berkonsultasi Hall (1982). Pada risiko dari penyederhanaan, dalam
sisa bagian ini kita membandingkan positivis dan interpretatif paradigma.
Teori kritis
adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik
dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial
dan humaniora.
Sebagai istilah, teori kritis memiliki dua makna dengan asal-usul dan sejarah
yang berbeda: pertama berasal dari sosiologi
dan yang kedua berasal dari kritik
sastra, dimana digunakan dan diterapkan
sebagai istilah umum yang dapat menggambarkan teori yang didasarkan atas
kritik; dengan demikian, teori Max
Horkheimer menggambarkan teori
kritis adalah, sejauh berusaha "untuk membebaskan manusia dari keadaan
yang memperbudak mereka."
Dalam filsafat, istilah teori kritis menggambarkan
filosofi neo-Marxis dari Frankfurt
School, yang dikembangkan di Jerman pada
1930-an. Teori Frankfurt menarik tentang metode kritis Karl
Marx dan Sigmund
Freud. Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi
adalah kendala utama untuk pembebasan manusia. Teori Kritis didirikan sebagai
sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima tokoh teori Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse,
Theodor Adorno,
Max Horkheimer,
Walter Benjamin,
dan Erich Fromm.
Teori kritis modern telah bertambah dipengaruhi oleh György Lukacs
dan Antonio
Gramsci, serta generasi kedua sarjana
Mazhab Frankfurt, terutama Jürgen
Habermas. Dalam karya Habermas, teori
kritis melampaui akar teoritis dalam idealisme Jerman,
dan berkembang lebih dekat dengan pragmatisme
Amerika. Kepedulian terhadap "dasar
dan suprastruktur" sosial adalah salah satu yang tersisa dari konsep
filsafat Marxis di banyak teori kritis kontemporer.
Sementara
teori kritis telah sering kali didefinisikan sebagai intelektual Marxis,[4]
kecenderungan mereka untuk mengecam beberapa konsep Marxis dan untuk
menggabungkan analisis Marxian dengan tradisi sosiologis dan filosofis lainnya
telah menimbulkan tuduhan revisionisme oleh para Klasik, Ortodoks, dan Analisis
Marxis, dan oleh filsuf Marxis Leninis. Martin Jay
telah menyatakan bahwa generasi pertama teori kritis paling baik dipahami
dengan tidak mempromosikan agenda filosofis tertentu atau ideologi tertentu,
tetapi sebagai "pengganggu dari sistem lain".
0 komentar:
Posting Komentar